Wednesday, October 19, 2022

Waspadai Gagal Ginjal Akut pada Anak


Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak usia 6 bulan-18 tahun terjadi peningkatan terutama dalam dua bulan terakhir. Per tanggal 18 Oktober 2022 sebanyak 189 kasus telah dilaporkan, paling banyak didominasi usia 1-5 tahun.

Seiring dengan peningkatan tersebut, Kemenkes meminta orang tua untuk tidak panik, tenang namun selalu waspada. Terutama apabila anak mengalami gejala yang mengarah kepada gagal ginjal akut seperti ada diare, mual ,muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk serta jumlah air seni/air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali.

"Orang tua harus selalu hati-hati, pantau terus kesehatan anak-anak kita, jika anak mengalami keluhan yang mengarah kepada penyakit gagal ginjal akut, sebaiknya segera konsultasikan ke tenaga kesehatan jangan ditunda atau mencari pengobatan sendiri," kata Plt. Direktur Pelayanan Kesenatan Rujukan dr. Yanti Herman, MH. Kes.

Pastikan bila anak sakit cukupi kebutuhan cairan tubuhnya dengan minum air. Lebih lanjut, gejala lain yang juga perlu diwaspadai orang tua adalah perubahan warna pada urine (pekat atau kecoklatan). Bila warna urine berubah dan volume urine berkurang, bahkan tidak ada urine selama 6-8 jam (saat siang hari), orang tua diminta segera membawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Sampai saat ini kasus gagal ginjal akut pada anak belum diketahui secara pasti penyebabnya, untuk itu pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) membentuk satu tim yang bertugas untuk mengamati dan menyelidiki kasus gangguan ginjal akut pada anak.

Dari data yang ada gejala yang muncul di awal adalah terkait infeksi saluran cerna yang utama untuk itu Kemkes menghimbau sebagai upaya pencegahan agar orang tua tetap memastikan perilaku hidup bersih dan sehat tetap diterapkan, pastikan cuci tangan tetap diterapkan, makan makanan yang bergizi seimbang, tidak jajan sembarangan, minum air matang dan pastikan imunisasi anak rutin dan lanjuti dilengkapi.

Selain itu, Kemenkes juga telah menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02./2/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Managemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagai bagian peningkatan kewaspadaan.

Surat keputusan ini memuat serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan lain dalam melakukan penanganan terhadap pasien gagal ginjal akut sesuai dengan indikasi medis.

"Belajar dari pandemi COVID-19, pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Sinergi dan kolaborasi dari seluruh pihak sangat diperlukan untuk mencegah agar penyakit ini bisa di cegah sedini mungkin. Karenanya kami mengimbau kepada Dinas Kesehatan, rumah sakit maupun pintu masuk negara agar segera melaporkan apabila ada indikasi kasus yang mengarah kepada gagal ginjal akut maupun penyakit lain yang berpotensi mengalami KLB," imbuh dr. Yanti

Hotline Virus Corona 119 ext 9. Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor hotline Halo Kemenkes melalui nomor hotline 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak@kemkes.go.id (MF)

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik

dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid

Sumber : kemkes.go.id

Friday, September 30, 2022

Pentingnya Vaksin PCV untuk Mencegah Penyakit Berbahaya



Vaksin PCV dapat mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri pneumokokus, penyebab penyakit berbahaya seperti meningitis dan pneumonia. Untuk melindungi diri dan keluarga dari penyakit tersebut, pemberian vaksin PCV bisa dilakukan sebagai salah satu bentuk langkah pencegahan yang tepat.


Vaksin PCV atau pneumococcal conjugate vaccine adalah vaksin yang mengandung bagian dari bakteri pneumokokus. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit infeksi yang berat, seperti meningitis, pneumonia, dan sepsis.


Ada 2 jenis vaksin PCV, yaitu PCV10 dan PCV13. PCV 10 mampu mencegah 10 jenis bakteri pnemokukus, sedangkan PCV13 mampu mencegah 3 jenis bakteri tambahan. Meski begitu, keduanya sama-sama efektif dalam mencegah penyakit akibat infeksi pneumokokus dan meminimalkan risikonya.


Siapa Saja yang Perlu Menerima Vaksin PCV?

Infeksi bakteri pneumokokus lebih sering menyerang anak di bawah usia 5 tahun dan lansia di atas 50 tahun. Oleh karena itu, anak-anak dan lansia dianjurkan untuk menerima vaksin PCV. Selain itu, vaksin PCV juga perlu diberikan kepada orang yang memiliki penyakit atau kondisi medis tertentu, seperti:

  • Daya tahan tubuh lemah, misalnya karena infeksi HIV, penyakit autoimun, dan efek samping kemoterapi
  • Kelainan bawaan lahir, seperti penyakit jantung bawaan
  • Penyakit kronis, seperti asma, diabetes, dan penyakit ginjal
  • Kelainan darah, misalnya thalasemia
  • Riwayat operasi, seperti operasi implan koklea, transplantasi organ, atau pengangkatan limpa
  • Perokok aktif


Meski penting untuk diperoleh, pemberian vaksin PCV sebaiknya ditunda untuk ibu hamil, kecuali jika dokter telah menilai bahwa manfaat dari pemberian vaksin lebih besar daripada risikonya bagi kehamilan.

Selain itu, vaksinasi PCV sebaiknya ditunda dulu bila orang yang akan menerimanya sedang sakit, seperti flu atau demam. Vaksin PCV juga perlu diwaspadai pada orang yang memiliki riwayat alergi atau reaksi anafilaktik terhadap vaksin tertentu.


Kapan Vaksin PCV Perlu Diberikan?

Jadwal imunisasi PCV pada tiap orang berbeda-beda tergantung usianya. Vaksin PCV diberikan pada anak usia 2, 4, dan 6 bulan, lalu diulang pada usia 12­–15 bulan.


Bagi anak usia di atas 2 tahun yang belum menerima vaksin PCV atau belum memenuhi vaksinasi secara lengkap, perlu mendapatkan 1 dosis vaksin, apalagi jika memiliki penyakit tertentu.


Orang dewasa yang berusia 50 tahun ke atas perlu mendapatkan vaksin PCV13 hanya 1 kali untuk seumur hidup. Bila diperlukan, vaksi pneumokokal polisakarida 23 (PPSV23) juga diberikan dengan jeda minimal 1 tahun setelah pemberian PCV13.


Apakah Vaksin PCV Aman Digunakan?

Layaknya vaksin pada umumnya, pemberian vaksin PCV juga dapat menimbulkan efek samping berupa demam serta nyeri, kemerahan, dan bengkak di lokasi suntik. Efek samping ini tergolong ringan dan bisa membaik dengan sendirinya.


Pada sebagian orang, vaksin PCV bisa menimbulkan efek samping berupa reaksi alergi. Meski begitu, reaksi alergi yang serius sangat jarang terjadi.


Jadi, secara umum, pemberian vaksin PCV merupakan langkah yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit akibat infeksi bakteri pneumokokus. Vaksin ini juga telah masuk dalam program pemerintah untuk vaksinasi anak, sehingga bisa didapatkan secara gratis.


Jika Anda atau anak Anda belum mendapatkan vaksin PCV atau melewatkan jadwal vaksinasi yang telah direkomendasikan, sebaiknya konsultasikan ke dokter. Dokter bisa menentukan jadwal yang tepat untuk vaksinasi sesuai kebutuhan Anda atau anak Anda.


Selain itu, apabila Anda mengalami reaksi alergi yang serius, misalnya sesak napas, kemerahan di kulit yang meluas, gatal-gatal, serta mata dan mulut bengkak setelah mendapatkan vaksin PCV, segera kunjungi fasilitas kesehatan terdekat.


Sent from my iPhone

Thursday, August 4, 2022

Ada 1 Kasus Suspek Cacar Monyet ditemukan (lagi) di Indonesia








Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali mengidentifikasi suspek atau warga yang terduga terpapar cacar monyet (monkeypox) di Indonesia. Warga tersebut saat ini menjalani perawatan di salah satu rumah sakit swasta di Jawa Tengah.

Juru bicara Kemenkes Mohammad Syahril mengatakan pasien merupakan laki-laki berusia 55 tahun. Syahril menyebut pasien bukan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN).

"Seorang laki-laki, 55 tahun, bukan PPLN, suspek monkeypox dan saat ini dirawat isolasi di RS Swasta di Jateng," kata Syahril saat dihubungi, Rabu (3/8).

Syahril melanjutkan, pasien suspek cacar monyet ini akan diperiksa lebih lanjut untuk memastikan penyakitnya. Ia sekaligus menegaskan kasus ini belum konfirmasi sehingga hingga saat ini belum ada kasus konfirmasi alias kasus cacar monyet masih nihil di Indonesia.

"Akan dilakukan pemeriksaan lab PCR untuk memastikannya. Bisa saja hanya cacar biasa atau penyakit lain, bukan monkeypox," ujar Syahril.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin pada akhir Juli lalu juga sudah melaporkan setidaknya ada sembilan suspek pasien cacar monyet di Indonesia. Kendati demikian, semua suspek dinyatakan negatif cacar monyet setelah melalui pemeriksaan.

Kemenkes sebelumnya juga menyatakan bakal memperkuat dan memperbanyak deteksi dini atau aktivitas surveilans cacar monyet pada kelompok gay di Indonesia. Surveilans akan dilakukan bekerjasama dengan sejumlah pihak, termasuk pula dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu menambahkan upaya mitigasi itu dilakukan lantaran laporan dari sejumlah negara, sebagian besar yang terinfeksi cacar monyet adalah pria gay.

Indonesia Diminta Waspada

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) membentuk Satuan Tugas (Satgas) cacar monyet usai Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan wabah cacar monyet sebagai darurat kesehatan global beberapa waktu lalu.

Selain itu, dalam beberapa hari terakhir mulai muncul temuan kasus kematian pada pasien cacar monyet di sejumlah negara luar Afrika seperti Brasil, Spanyol, dan India. IDI menilai upaya ini merupakan bentuk kewaspadaan terhadap potensi munculnya cacar monyet di Indonesia.

"Seperti halnya terkait pandemi Covid-19, dan kita sudah di-warning berat oleh WHO terkait Monkeypox, maka kami dari IDI juga membentuk khusus Satgas Monkeypox," kata Ketua Umum PB IDI M. Adib Khumaidi dalam acara daring, Selasa (2/8) lalu.

Satgas Monkeypox ini terdiri dari sejumlah organisasi profesi lainnya yang akan bertugas memantau dan mendeteksi potensi Monkeypox terjadi di Indonesia. Ia juga mendesak agar pemerintah memperkuat upaya mitigasi dalam pencegahan kasus cacar monyet atau monkeypox di Indonesia.

IDI kemudian meminta agar pemerintah memperluas cakupan area pemeriksaan atau skrining pada pintu masuk Indonesia.

Adib juga meminta agar pemerintah berupaya meningkatkan kemampuan laboratorium jejaring dalam diagnostik molekuler spesimen pasien yang dicurigai menderita Monkeypox sesuai rekomendasi WHO. Serta meningkatkan kemampuan dalam identifikasi kontak erat pada pasien suspek dan probable cacar monyet.

"Melakukan pengawasan terhadap pelaku perjalanan melalui pengamatan suhu, pengamatan tanda dan gejala. Pada pelaku perjalanan dengan kondisi demam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan langsung oleh dokter yang bertugas pada pelabuhan, bandara, ataupun PLBDN tersebut," ujarnya.

Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220804090134-20-830119/suspek-cacar-monyet-ditemukan-di-jawa-tengah-ri-diminta-waspada/amp

Friday, June 24, 2022

Pelaksanaan Posyandu Balita Bougenville di bulan Juni 2022


Setelah vakum selama 2 tahun lebih,  Alhamdulillaah akhirnya di tanggal 16 Juni 2022 Posyandu Bougenville Rawamangun  kembali melaksanakan Posyandu untuk memantau dan memberikan pelayanan kesehatan bagi Balita di lingkungan RW 10 Rawamangun. 

Kader - kader Posyandu Bougenville yang terdiri dari 6 orang ibu - ibu warga RW 10 sudah bersiap sejak jam 08.30.
Jadwal pelaksanaan Posyandu kali ini tetap mengikuti ketentuan seperti sebelumnya,  yaitu di setiap hari Kamis minggu ketiga setiap bulan,  di tanggal 16 Juni 2022.

Tenaga medis dari Puskesmas Kelurahan Rawamangun yang bertugas adalah Ibu Ulina di meja Pelayanan Kesehatan dan Ibu Inayah di meja Penyuluhan Gizi. 
Selain itu hadir pula Dr.  Agi yang memberikan penjelasan rinci tentang Hepatitis akut pada anak yang beberapa waktu ini menyerang anak - anak di Indonesia. 

Untuk penjelasan rinci tentang Hepatitis pada anak ini bisa dilihat di artikel sebelum post ini. 

Sebagai langkah pencegahan dari terserangnya hepatitis pada anak, seluruh masyarakat hendaknya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dengan cara salah satunya adalah rajin mencuci tangan di air mengalir.  Di kesempatan ini Dr. Agi juga mengajarkan 6 langkah cuci tangan yang benar. 

Alhamdulillaah Balita yang datang kali ini cukup banyak. Banyak Balita baru yang lahir di rentang waktu antara Maret 2020 - Mei 2022 saat Posyandu Bougenville tutup. 
Seperti pada pelaksanaan Posyandu sebelumnya, setelah melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan, para Balita dengan gembira bermain denga. permainan edukatif dan juga mewarnai gambar. 
Sebelum pulang, para Balita mendapatkan balon, biskuit,  puding dan makanan tambahan untuk dibawa pulang. Menu PMT kali ini adalah Nasi Sup Telur Puyuh, sesuai ketentuan dari kelurahan. 

Ada yang berbeda pada pelaksanaan kali ini,  yaitu adanya meja PIK (Pusat Informasi & Konsultasi)  Keluarga. Untuk selanjutnya, di setiap pelaksanaan Posyandu akan ada meja PIK Keluarga. 
Ibu Ana dari Pokja 1 Kelurahan Rawamangun menjelaskan tentang pentingnya PIK Keluarga bagi masyarakat. 

Kami kader Posyandu Bougenville Rawamangun sangat berterima kasih atas kedatangan dan perhatian dari Bapak dan Ibu yang sudah hadir : 
Dari RW 10 : Bpk Uceh Ketua RW, Ibu Metty Ketua PKK RW, Ibu Siska Ketua Pokja IV, Ibu Wani Ketua Posyandu Lansia, Ibu Yanti Petugas PIK Keluarga
Dari Puskesmas : Ibu Uli, Ibu Inayah, Bpk Dr. Agi, Ibu Dwi 
Dari Kelurahan : Ibu Bambang, Ibu Agni Ketua Pokja IV, Ibu Ana Ketua Pokja I. 
(mohon maaf bila. ada yg belum tertuliskan namanya). 

Semoga Posyandu Bougenville dan Posyandu di seluruh Indonesia terlaksana dengan baik dan semakin baik. 
Sehat Balita kita,  sehat seluruh masyarakat Indonesia. 

Tanya Jawab sekitar MonkeyPox atau Cacar Monyet


Frequently Asked Questions (FAQ) Monkeypox

1.      Apa itu Monkeypox?
Monkeypox adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang (zoonosis).

Virus monkeypox merupakan anggota genus Orthopoxvirus dalam keluarga Poxviridae. Genus Orthopoxvirus juga termasuk virus variola (penyebab cacar Smallpox) dan virus vaccinia (digunakan dalam vaksin cacar Smallpox).

2.      Mengapa dinamakan Monkeypox atau Cacar Monyet?
Monkeypox pertama kali ditemukan pada tahun 1958 di Denmark ketika ada dua kasus seperti cacar muncul pada koloni kera yang dipelihara untuk penelitian, sehingga cacar ini dinamakan 'monkeypox'.

3.      Jika Monkeypox adalah penyakit zoonosis, hewan apa saja yang dapat menularkan?
Di Afrika, infeksi monkeypox telah ditemukan pada banyak spesies hewan, diantaranya monyet, tikus Gambia dan tupai. Inang utama dari virus ini adalah rodent (tikus).

4.      Apakah di Indonesia pernah ditemukan kasus Monkeypox?
Sampai saat ini belum ditemukan kasus monkeypox di Indonesia.

5.      Terkait munculnya kasus di Inggris Raya, apakah ada risiko penularan/penyebaran ke Indonesia?
Risiko penularan manusia ke manusia sangat mungkin, maka perlu tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya penyebaran di Indonesia.

Pemerintah Inggris terus berupaya melakukan pengendalian untuk mengisolasi penderita, dan pelacakan kontak erat. Investigasi terus dilakukan oleh pemerintah setempat.

6.      Apakah Monkeypox dapat menular?
Monkeypox merupakan penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan oleh virus ke manusia dari hewan seperti monyet dan hewan pengerat (rodent) melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh atau lesi kulit hewan yg terinfeksi, dan mengonsumsi daging hewan liar yang terkontaminasi (bush meat).

Penularan antar manusia melalui kontak dengan sekresi pernapasan, lesi kulit dari orang terinfeksi atau benda yang terkontaminasi. Tenaga kesehatan, orang yang tinggal serumah dan kontak erat lain merupakan orang yang berisiko tinggi. Penularan juga terjadi melalui plasenta dari ibu ke janin atau kontak selama persalinan. Penularan seksual masih belum jelas sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan.

7.      Bagaimana Monkeypox ditularkan?
Virus monkeypox dapat ditularkan ke manusia ketika ada kontak langsung dengan hewan terinfeksi (gigitan atau cakaran), pasien terkonfirmasi monkeypox, atau bahan yang terkontaminasi virus (termasuk pengolahan daging binatang liar). Masuknya virus adalah melalui kulit yang rusak, saluran pernapasan, atau selaput lendir (mata, hidung, atau mulut).

8.      Apa saja tanda dan gejala Monkeypox?
Masa inkubasi (interval dari infeksi sampai timbulnya gejala) monkeypox biasanya 6 – 16 hari, tetapi dapat berkisar dari 5 – 21 hari. Gejala yang timbul diawali dengan demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot dan lemas. Limfadenopati dapat dirasakan di leher, ketiak atau selangkangan. Dalam 1-3 hari setelah gejala awal atau fase prodromal, akan memasuki fase erupsi berupa munculnya ruam atau lesi pada kulit biasanya dimulai dari wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya secara bertahap. Ruam atau lesi pada kulit ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar (makulopapula), lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras atau keropeng lalu rontok. Biasanya diperlukan waktu hingga 3 minggu sampai periode lesi tersebut menghilang dan rontok.

Monkeypox biasanya merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14 – 21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien dan tingkat keparahan komplikasi. Kasus kematian bervariasi tetapi kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda tampaknya lebih rentan terhadap penyakit monkeypox.

9.      Kapan seseorang harus mencari pertolongan medis?
Seseorang dengan gejala mirip monkeypox dan memiliki kontak dengan orang/hewan yang yang dicurigai monkeypox atau memiliki riwayat perjalanan dari wilayah yang melaporkan kasus maka tidak perlu panik. Segera konsultasi dan berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan.

10.  Apa perbedaan utama Monkeypox dengan Smallpox?
Perbedaan utama terletak pada gejalanya, yaitu pada Monkeypox ada limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening), sedangkan pada Smallpox tidak ada.

11.  Kapan seseorang yang terinfeksi Monkeypox menular?
Seseorang yang terinfeksi berisiko menularkan Monkeypox sejak timbulnya ruam atau lesi Setelah semua keropeng rontok, seseorang sudah tidak berisiko menularkan lagi.

12.  Bagaimana mendiagnosis Monkeypox?
Monkeypox hanya dapat didiagnosis secara pasti melalui pemeriksaan laboratorium rujukan. Namun secara klinis, diagnosis banding Monkeypox dapat mempertimbangkan penyakit ruam lain, seperti cacar Smallpox (meskipun sudah diberantas), cacar air, campak, infeksi kulit akibat bakteri, kudis, sifilis, dan alergi terkait obat.

13.  Untuk pemeriksaan laboratorium, jenis spesimen apa yang diperlukan dan bagaimana pengelolaannya?
Spesimen diagnostik yang optimal berasal dari lesi - usapan cairan dari eksudat lesi atau keropeng yang disimpan dalam tabung kering dan steril (tidak menggunakan media transportasi virus / VTM) dan harus dijaga agar tetap dingin.

Darah dan serum dapat digunakan tetapi seringkali tidak dapat disimpulkan karena durasi viremia yang pendek dan waktu pengumpulan spesimen.

14.  Bagaimana Pengobatan Monkeypox?
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang spesifik untuk monkeypox. Pengobatan lebih bersifat simptomatis dan suportif.

15.  Bagaimana Monkeypox dapat dicegah?
Monkeypox dapat dicegah dengan beberapa cara, diantaranya:

o   Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti cuci tangan dengan air dan sabun, atau menggunakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol.

o   Menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata dan membatasi pajanan langsung dengan darah atau daging yang tidak dimasak dengan baik.

o   Menghindari kontak fisik dengan orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi, termasuk tempat tidur atau pakaian yang sudah dipakai penderita.

o   Menghindari kontak dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yg diburu dari hewan liar (bush meat)

o   Pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit monkeypox agar segera memeriksakan dirinya jika mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari 3 minggu setelah kepulangan, serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya.

o   Petugas kesehatan agar menggunakan sarung tangan, masker dan baju pelindung saat menangani pasien atau binatang yang sakit.

16.  Apakah tersedia Vaksin Monkeypox?
Vaksin yang digunakan selama program pemberantasan cacar (smallpox) memberikan perlindungan terhadap monkeypox. Vaksin baru yang dikembangkan untuk smallpox telah disetujui pada tahun 2019 untuk digunakan dalam mencegah monkeypox namun ketersediaan global masih terbatas.

17.  Apakah ada larangan bepergian ke negara yang telah melaporkan kasus?
Tidak. berdasarkan informasi yang tersedia saat ini, WHO tidak merekomendasikan pembatasan apa pun untuk perjalanan dan perdagangan.

18.  Negara mana saja yang sudah melaporkan kasus Monkeypox?
Wilayah negara yang sudah dinyatakan terjangkit monkeypox secara global adalah Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Pantai Gading, Liberia, Sierra Leone, Gabon dan Sudan Selatan. Negara di luar Afrika yang tercatat pernah muncul kejadian luar biasa monkeypox adalah Amerika Serikat (2003), Inggris, Israel (2018) dan Singapura (2019).

Pada tanggal 7 Mei 2022 Inggris Raya telah melaporkan ke WHO adanya 1 (satu) kasus monkeypox pada warga Inggris yang memiliki perjalanan ke Nigeria. Pada tanggal 29 April 2022 bergejala dan tiba di Inggris pada 4 Mei. Telah dilakukan isolasi dan karantina kontak selama 21 hari.

Pada tanggal 13 Mei 2022 melaporkan adanya 2 kasus konfirmasi dan 1 (satu) probable monkeypox pada sebuah keluarga. Pada tanggal 15 Mei 2022, dilaporkan kasus kluster yaitu 4 kasus konfirmasi dengan gejala ruam vesicular yang dilaporkan dari pasien yang berkunjung ke sexual health service. Belum ada sumber infeksi yang dikonfirmasi. Berdasarkan informasi yang tersedia saat ini, penularan diperoleh secara lokal di Inggris. Tingkat penularan lokal tidak jelas pada tahap ini dan masih memerlukan investigasi lebih lanjut. Pemerintah setempat telah melakukan isolasi dan karantina. Pada 18 Mei 2022 CDC juga melaporkan 1 kasus warga Amerika yang bepergian dari Kanada

Sumber : 
https://covid19.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/frequently-asked-questions-faq-monkeypox

KASUS HEPATITIS AKUT YANG TIDAK DIKETAHUI ETIOLOGINYA


KASUS HEPATITIS AKUT YANG TIDAK DIKETAHUI ETIOLOGINYA
(ACUTE HEPATITIS OF UNKNOWN AETIOLOGY)

Update per 9 Mei 2022 (informasi dapat berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan bukti-bukti terbaru)

Informasi Umum
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menerima laporan pada 5 April 2022 dari Inggris Raya mengenai kasus Hepatitis Akut yang Tidak Diketahui Etiologinya (Acute hepatitis of unknown aetiology). Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan dan virus hepatitis tipe A, B, C, D dan E tidak ditemukan sebagai penyebab dari penyakit tersebut.  Saat ini masih dalam penyelidikan terkait penyebab dan siapa yang paling berisiko terhadap penyakit tersebut, serta apakah ada hubungannya dengan COVID-19. Informasi dapat berubah sewaktu-waktu.

1.    Apa saja gejala yang dialami?

Gejala awal yang dialami adalah Mual, Muntah, Diare Berat, dan Demam Ringan. Gejala bisa berlanjut dengan air kencing berwarna pekat seperti teh dan BAB berwarna putih pucat, warna mata dan kulit menguning, gangguan pembekuan darah, kejaSumber :n kesadaran menurun.

2.    Siapa saja yang terinfeksi?

Dari kasus yang dilaporkan terjadi pada anak-anak berusia 1 bulan hingga 16 tahun.

3.    Dimana saja kasus ini sudah dilaporkan?

Pada 21 April 2022, sebanyak 169 kasus hepatitis akut yang tidak diketahui etiologinya telah dilaporkan dari 11 negara yaitu Inggris Raya termasuk Irlandia Utara (114 kasus), Spanyol (13 kasus), Israel (12 kasus), Amerika Serikat (9 kasus), Denmark (6 kasus), Irlandia (<5 kasus), Belanda (4 kasus), Italia (4 kasus), Norwegia (2 kasus), Perancis (2 kasus), Rumania (1 kasus), dan Belgia (1 kasus).

4.    Apa penyebab dari penyakit ini?

Penyebab dari penyakit tersebut masih belum diketahui. Secara umum, etiologi kasus hepatitis saat ini masih dalam penyelidikan. Pemeriksaan laboratorium untuk memeriksa adanya agen biologis, kimiawi, dan agen lain masih terus dilakukan pada kasus yang telah teridentifikasi.

5.    Apakah penyakit ini terkait dengan vaksinasi COVID-19?

Tidak ada bukti bahwa kejadian ini terkait dengan vaksinasi COVID-19 karena sebagian besar anak-anak yang terkena dampak belum menerima vaksin COVID-19. Penjelasan infeksi dan non-infeksi lainnya perlu dinilai sepenuhnya untuk memahami dan mengelola risiko. 

6.    Bagaimana cara pencegahannya?

     Sambil menunggu informasi lebih lanjut, masyarakat diharapkan untuk tetap menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terutama rutin melakukan cuci tangan pakai sabun pada anak-anak, yang dapat mencegah terjadinya penularan berbagai macam penyakit infeksi. Pastikan makan makanan dalam keadaan matang dan bersih, tidak bergantian alat makan dengan orang lain, menghindari kontak dengan orang sakit, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, serta menerapkan protokol kesehatan seperti biasa yaitu mengurangi mobilitas, menggunakan masker selama bepergian, menjaga jarak dengan orang lain dan menghindari keramaian dan kerumunan.

EMPAT LANGKAH PENTING PENANGAN HEPATITIS AKUT :

1.    Waspada gejala awal seperti diare, mual, muntah, sakit perut, dan dapat disertai demam ringan.

2.    Jika muncul gejala awal, segera bawa pasien ke puskesmas dan rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan lanjutan.

3.    Jangan menunggu muncul gejala lanjutan seperti kulit dan mata kuning, agar tidak terlambat.

4.    Jika terjadi penurunan kesadaran, segera bawa pasien ke rumah sakit dengan fasilitas ICU Anak. 

 

Catatan :

Fasilitas Kesehatan yang mendapatkan kasus dengan gejala yang dicurigai mengarah penyakit ini,  harus segera melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk dilaporkan secara berjenjang ke Pusat.

Sumber :
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/kasus-hepatitis-akut-yang-tidak-diketahui-etiologinya-acute-hepatitis-of-unknown-aetiology